Kamis, 12 November 2009

Negeriku...CIntaku, Mimpiku

“Mari temani aku, Tuan!”, ajak seorang pria muda berkulit putih bersih memakai baju biru kotak-kotak itu kepadaku. Ia melambaikan tangan seraya melemparkan senyuman yang tulus dan akrab. Sejenak aku terperanjat dengan keadaan disekelilingku, meskipun sebenarnya pemandangan kota ini tidak asing, tapi suasana yang kudapatkan sangat tidak biasa.
Laki-laki putih itu lantas menarik tanganku, dengan segera ia merangkulkan lengannya di pundakku, dan tak henti-hentinya tersenyum. Ia berkata kepada semua orang yang kami jumpai, “hai, this is my friend!”. Semua orang yang ia sapa melihat kearahku, dan melemparkan senyum tulus mereka. Aku pun membalas senyuman itu tak kalah tulusnya. Meskipun aku orang asing, tetapi aku merasa begitu dihargai di kota ini.
Sedikit aneh memang, biasanya ketika aku berjumpa dengan orang yang baru kukenal aku merasa sangat ketakutan. Orang-orang yang baru kujumpai biasanya akan bertanya tentang asal-usulku. Lantas mereka pun akan bereaksi sesuatu yang sudah bisa aku terka, “Oh, orang Sumatera itu kasar-kasar, tidak sopan, kalo ngomong teriak-teriak,” ... dan sejuta label negatif lainnya melekat dengan ke-Sumatera-an ku. Begitulah sinisme yang selalu menghiasi kehidupan sosialku. Aku sebenarnya muak dengan generalisasi tautologis karakter sosial seperti itu, memandang seseorang dengan stereotype tertentu. Bagiku, tidak semestinya ada suku yang merasa dirinya lebih hebat, lebih mulia, ataupun lebih dari segalanya, karena Tuhan menciptakan semua makhluknya dengan kekurangan dan kelebihan, tanpa kecuali. Itulah kondisi yang terjadi di negeriku saat ini, bangsa yang rasis!
Ketika aku masih sibuk memandangi keadaan disekelilingku, pria muda tadi berceloteh tidak henti-hentinya, entah apa yang ia katakan, yang jelas ia begitu membanggakan negeri yang aku singgahi ini. Dalam perjalanan, aku melihat sebuah mall yang berdiri sangat megah, ia pun mengajakku untuk singgah sebentar dan melihat-lihat kedalamnya. Tampak disana semua orang berpakaian rapih dan bersih, ada yang berpenampilan sederhana dan ada juga yang mewah, tapi wajah ramah dan bersahaja tak pernah lepas terpancar di wajah mereka, orang-orang tampak saling bertegur sapa tersenyum ramah.
“Lihatlah, itu barongsai,” seru pria muda itu sangat antusias. “Tarian ular naga sedang meliuk-liukan tubuhnya, atraktif bukan?” tanyanya kemudian.
Aku tidak mengerti atraksi barongsai, karena sungguh dinegeriku aku belum pernah melihat tarian seperti itu. Melihat dahiku yang sering mengkerut, pria muda itu menunjukkan jarinya ke arah selatan gedung mall megah yang kami singgahi. Kulihat semua orang tanpa kecuali menikmati atraksi tersebut. Seorang anak yang ragu dan takut menyerahkan sebuah apel merah kepada sang naga, sang naga pun membalas dengan memberinya pita berwarna putih. Anak itu pun menerima dengan gembira, mengagumi keberaniannya.
“Dulu atraksi barongsai pernah dilarang disini, karena atraksi itu dari sebuah ras yang tidak asli dari negeri ini. Mereka pendatang, namun karena banyak yang bermukim disini, akhirnya mereka menjadi warga negara disini. Perjuangannya sangat panjang dan dramatis hanya untuk diterima menjadi bagian dari bangsa ini. Mereka seringkali dijadikan lahan subur pemerasan oleh birokrasi, terutama masalah administrasi kependudukan. Tapi sudahlah, itu masa lalu, sekarang mereka sudah diterima dengan sangat terbuka, hari raya mereka diakui menjadi hari libur nasional, dan agama mereka juga diakui negara. Sudah tidak ada lagi diskriminasi antara pribumi dan non pribumi di negeri kami”, jelas pria itu.
Aku kadang tersenyum geli melihat tingkah teman baruku yang ekspresif itu. Kalau di negeriku, semua orang sepertinya harus memendam perasaan yang teramat dalam, kami tidak bebas menunjukkan isi hati dan perasaan, semua harus serba abu-abu, bangsa yang menak, elegan, dan berwibawa itulah mitosnya, harus menahan perasaan, jangan terlalu senang, jangan pula terlalu sedih, ..........biasa-biasa sajalah, tenang dan datar. Negeri tanpa emosi, meskipun sekarang terbukti, emosi itu akhirnya meledak, karena masyarakat terlalu lama memendam rasa kecewa dan marah. Pikirku di dalam hati.
Pria itu kemudian meneruskan perjalanannya, dan aku mengikuti langkahnya yang terasa begitu cepat. Ia segera memasuki sebuah kedai kopi yang cukup bergengsi di mall ini. “Aku haus, kita istirahat dulu sebentar”, kata pria itu kepadaku. Kemudian ia segera menuju sebuah meja. Ternyata disana telah berkumpul tiga orang pria, mereka sedang bercengkrama akrab sambil tertawa. “Aku membawa seorang teman”, ujar pria putih temanku tadi. Tiga pria itu langsung melihatku, tersenyum, menyalamiku, lantas mempersilahkan aku duduk. Sesaat, phobia ku kembali muncul, ketakutan yang luar biasa, aku takut mereka bertanya tentang siapa aku. Pikiranku segera melayang, berpindah ruang dan dimensi, dimana tempat sesungguhnya aku bermukim. Aku pun teringat kembali saat orang-orang di negereki bertanya tentang aku. “Namaku Alvian, panggil saja vian, aku orang Indonesia, lahir di Sumatera, tapi aku bukan asli sana kok, ibuku keturunan Jawa tepatnya dari Cirebon-Pekalongan, bapakku memang asli Sumatera, tapi aku lebih senang disebut orang Indonesia, daripada harus ikut bapak atau ibuku. Begitulah kira-kira jawabanku, aku takut mereka akan memperolok aku, menyakiti perasaan aku dengan sinisme rasialis, aku takut tidak diterima disini, jadi aku harus berkelit untuk menceritakan siapa aku.
Dalam pandanganku, mereka semua orang jahat, mendominasi, sok berkuasa dan sok pintar. “Keturunan Jawa? Huh, Jawa Palsu”. Itulah tanggapan yang akan keluar dari mulu sepertinya mereka, atau.... “Oh orang Sumatera yang suka.......”, rasis, rasis, sekali lagi rasis, aku benci, bertahun-tahun aku hidup selalu menemukan hal yang seperti ini. Untungnya ini bukan saja terjadi pada aku, tetapi juga pada temanku dari Papua, Makasar, Madura, Padang, Aceh, bahkan dari Tionghoa, kami selalu mendapatkan stereotype negatif versi mereka, mereka pikir mereka orang suci apa? Tidak punya cacat apapun, sejak kapan kami berdosa karena lahir dari wilayah dan suku tertentu, padahal kalo tidak ada kami tidak akan ada wilayah Indonesia yang katanya sungguh luas dengan kekayaan alam yang kaya, Indonesia bukan cuma pulau Jawa bukan?
“Hei, kok melamun?”, tanya seorang disebelahku sambil tersenyum.
Akupun tersentak dan kemudian tersadar, kudengar perlahan-lahan diskusi mereka.
“Ideologimu apa?”, tanya seorang lagi kepadaku.
Hah.... aku terkejut mendengar pertanyaan seperti itu. Belum pernah ada orang yang melemparkan pertanyaan begitu kepadaku. Selama ini, di negeri kami, orang-orang selalu digiring pada ideologi yang sama, meskipun ideologi itu tidak terselami dan merasuk pada perilaku kami dengan baik.
“Aku, hm...seorang kapitalis muda”, jawabku sedikit lantang, baru kali ini aku merasa bebas mengungkapkan ingin jadi apa aku sebenarnya, tanpa sedikitpun rasa takut.
Mereka tertawa, memecahkan keheningan suasana.
“Aku juga, ingin menjadi seorang kapitalis muda”, jawab seorang teman yang lain tiba-tiba.
“Tapi jangan terlena kau, meskipun kapitalis, jangan cuma mengejar keuntungan. Ingatlah orang kecil, jangan memikirkan diri sendiri, lihat aku seorang sosialis sukses di bidang usaha pertanian dan perkebunan, hidupku kuabdikan untuk mengangkat derajat hidup masyarakat kecil pinggiran”, sahut seseorang lagi kepadaku dan temannya yang kapitalis itu.
“Kamu tidak tahu, setiap event yang aku kerjakan dengan megah, disitu ada keuntungan yang disisihkan untuk bakti sosial”, balas teman yang juga kapitalis.
“Kalo aku sih lebih suka menjadi seorang muslim, hidupku kuabdikan untuk beribadah kepada Allah Swt dan menjalin harmonisasi sosial”, ujar yang lainnya.
“Syukurlah..., Allhamdulilah..., puji Tuhan.....”, sahut kami bersamaan.
“Meskipun kami semua berbeda, kami bebas berdiskusi tanpa harus mencela, ideologi itu pilihan hidup, tidak perlu dibesar-besarkan, kami semua bergerak untuk tujuan yang satu, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup bersama. Kami menjalankan usaha, melaksanakan pendidikan, dan teman yang satu itu, ia seorang birokrat profesional, misinya menata pemerintahan agar mampu memberikan pelayanan yang baik bagi warga disini”, jelas salah seorang dari mereka yang membuatku semakin iri karena kehebatan negeri ini, bebas namun tetap mampu menghargai satu sama lain.
Tak lama kemudian, pria muda berkulit putih temanku tadi beranjak pergi, aku pun mengikuti dia. Di perjalanan aku bertanya kepadanya,” Mengapa negerimu begitu indah?”
“Kesadaran kolektif dan kontrak sosial”, jawabnya singkat.
Aku mengrenyitkan dahiku, membentuk garis-garis tebal disana, aku bingung apa maksud pria itu.
Ia pun tersenyum, kemudian memberikan penjelasan panjang lebar kepadaku.
“Dulu sebenarnya tidak seperti ini....”,ucapnya lirih. Aku mendengarkannya dengan seksama. Mukanya, ia tengadahkan ke atas menatap langit, kemudian ia kembali pada posisi semula, matanya menatap ke depan menerawang hendak menembus cakrawala. Ia pun bercerita tentang masa lalu negerinya yang pernah suram.
“Bangsaku pernah menjadi bangsa yang besar di mata dunia...., partisipasi politik begitu tinggi, integrasi bangsa yang utuh, negeri yang damai, tapi semua itu semu. Kami dipaksa berpartisipasi, kami dipaksa bersatu, kami dipaksa patuh, tapi kami tidak diberi kesempatan mengungkapkan keinginan. Kami harus diam demi menjaga kesatuan dan stabilitas keamanan. Kekayaan daerah dirampas untuk pembangunan, tapi pembangunan di daerah kami tidak sebanding dengan kekayaan alam yang kami miliki, pembangunan hanya di sekitar ibukota negeri demi ambisi menjadi sebuah kota metropolis dan negara industri. Budaya kami diseragamkan, hingga tidak lagi mengenal nilai dan budaya khas daerah kami, pendatang masuk ke daerah kami, tapi kami dibeda-bedakan. Pedagang tradisional, petani dan nelayan tidak pernah diperhatikan, padahal mereka adalah pilar utama ekonomi bangsa, penguasa kami hanya memikirkan kroni mereka, sekelompok kapitalis muda seperti kamu, yang serakah, merampas hutan, kekayaan laut, lahan sawah, sampai sentra kegiatan ekonomi tradisional kami demi haus keuntungan yang tak pernah habis-habisnya. Para kritikus diberangus, diculik, dihilangkan, dipenjara dan ada pula yang ditembaki secara massal. Rakyat kemudian bersatu mendesak sang penguasa mundur, seketika negeri ini menjadi kacau balau, porak poranda, rakyat yang memendam amarah bak kuda liar, saling tuding dan berperang hanya karena hal yang kecil. Negeri yang damai dan ramah seketika menjadi negeri barbar, anarkis, tanpa hukum, saling bunuh dan saling bakar”.
“Kemudian......kami melakukan rekonsiliasi, dengan mengadakan rapat besar. Disanalah kami keluarkan apa yang ada didalam isi hati. Kami menjadi tersadar, bahwa kesatuan negeri ini kami perjuangkan bersama, dengan jiwa, harta, darah dan airmata. Tidak terkecuali, semua ikut berjuang. Kami masing-masing punya kekayaan yang sudah disediakan Tuhan, tidak boleh saling rebut, tetapi harus saling membantu, tidak ada yang merasa dirinya paling hebat, semua harus bersama-sama membangun negeri yang indah, kami menyadari bahwa kami bersatu dari perbedaan, karena itu kami harus menghargai perbedaan, tetapi meskipun berbeda, kami merasa ada penyatuan jiwa, yakni identitas nasional, yang tidak bisa membuat hati kami jauh dari negeri ini. Kami menyayangi satu sama lain, penguasa kami sekarang sangat bijaksana, mereka merasakan kehidupan rakyat. Pemerintah melayani kami dengan baik, dan hanya memikirkan kesejahteraan kami, kami sangat mencintai pemimpin kami. Kami mencintai negeri ini”.
Sekali lagi aku tersenyum getir memikirkan kondisi di negeriku sendiri. Pria putih itu kemudian menuju ke kamar kecil, aku pun mengikutinya. Sesampainya disana, ia segera membuang hajat kecilnya, akupun setia mengikuti apa yang dilakukannya.
“Hei lihat wajah kita sama”, seru pria putih itu seketika seraya menunjuk kearah cermin toilet yang tidak aku sadari keberadaannya.
Aku pun terperangah, memang sejak aku bertemu dia, aku tidak pernah menjumpai cermin satupun, tetapi baru aku sadari sekarang, wajah kami memang bak pinang di belah dua. Hah.......adrenalin ku memuncak, aku pun ketakutan, “Siapa kau?”, teriakku.....pria putih itu pun tersenyum, perlahan-lahan bayangannya kian menjauh, terusss........... menjauh. Pria putih semakin kabur dari pandanganku, dia tampak hanya seperti segumpal kabut yang terus terbang ke atas menuju langit yang jauh. Aku meronta-ronta, “Itukah aku? Apakah aku akan menuju nirwana? Oh jangan, aku masih ingin menjalani hidupku, yah mungkin suatu saat, aku bisa merasakan negeri yang indah seperti negerimu....”, aku berteriak dan meronta sekuat tenagaku.
“Pak.....bangun! sudah subuh, bapak tidak shalat?”. Sayup-sayup kudengar suara merdu.
Entah mengapa, aku merasakan sesuatu yang begitu hebat, nafasku tersengal-sengal, dalam tidurku kucoba menarik nafas yang panjang. Kubuka mataku perlahan. Sebentar aku merasa terperanjat, wajah pria itu kini berubah menjadi wajah cantik istriku. Tubuhnya yang harum memeluk aku, dan memposisikan aku untuk duduk dari tempat tidurku.
Aku pun mengusap wajah, dan menghela nafas yang panjang. Kucium kening istriku, lalu beranjak menuju kamar mandi, ku basuh muka dan kusiram dengan air wudhu. Allahuakbar.
Sayup-sayup kudengar dari kejauhan, suara orang-orang yang beribadah di belahan bumi yang lain, menyebut nama Tuhannya masing-masing.
Seusai menunaikan shalat, aku beranjak menuju televisi, kunyalakan, dan kusaksikan berita pagi.
Sekelompok warga pondok Indah kelapa membuat portal menutup jalan pintas yang melintasi perumahan mereka,... ditemukan sebuah bom kemarin di kedutaan, .....banjir melanda ibukota, mungkin sebentar lagi akan tenggelam, ...bencana kelaparan dan penyakit mematikan,.... politisi berebut kursi kekuasaan, .....kenaikan harga sembako gila-gilaan,......petani ribut gagal panen,..... penggusuran, ........ibu membunuh anaknya, anak diperkosa bapaknya, ........bayi-bayi kurang gizi, ......penjahat ditembak polisi,....... sidang dihentikan karena koruptor tergolek di rumah sakit,..... mahasiswa berdemo merusak pagar gedung pemerintah. Ya Tuhan, kapan negeri ini terlepas dari kutukan....?!
“Pak, tidak mandi, hari ini bapak kan harus ke kantor. Tadi ada telfon dari pak William, katanya jangan lupa hari ini ada meeting, presentasi laporan proyek, penandatanganan proyek baru, ... celoteh istriku melaporkan agenda acaraku hari ini, tapi untuk kali ini aku tak mau peduli. Aku mau tidur sepanjang hari.

@Catatan Novie Indrawati Sagita, 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar