Kamis, 01 Juli 2010

Bangkitkan Kreatifitas yang Lugas: Reinventing Government dan Culture Enterprise

Bangkitkan Kreatifitas yang Lugas: Reinventing Government dan Culture Enterprise

Reinventing Government dan Culture Enterprise

Disuguhkan pada Diklat SCBD Kota Cirebon, Eselon IV
Diklat Manajemen Keuangan dan Bisnis Daerah
Oleh NovieIndrawati Sagita, SIP., M.Si

REFLEKSI : Reformasi Birokrasi dan Transformasi Pemerintahan
Desentralisasi yang diberlakukan sejak 2001, merupakan upaya pemerintah secara nasional dan bertahap untuk memperbaiki dirinya dalam merespon tuntutan masyarakat mengenai reformasi birokrasi dan transformasi pemerintahan.
Sebelum Desentralisasi diberlakukan, Pemerintah Indonesia mulai tingkat pusat sampai daerah mengalami krisis pemerintahan. Krisis tersebut diantaranya adalah krisis:
1. Manajerial : dalam hal penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi terkesan kaku, bersifat patrimonialistik, misalnya dalam penempatan jabatan tidak berdasarkan prestasi/kinerja atau merit system melainkan atas dasar kedekatan pada kekuasaan, serta sarat dengan KKN (Korupsi,kolusi dan nepotisme). Karakter Birokrasi pun tidakdidukung oleh kesediaan SDM yang memadai baik dari prasarana, pengetahuan dan ketrampilan manajerial dan kepemimpinan serta karakter/etos kerja
2. Fungsi pemerintahan : dalam melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan, birokrasi terkesan lebih berorientasi pada kekuasaan atau lebih bersifat “mengatur/ menguasai” daripada melayani masyarakat
3. Demokratisasi : Dalam hal pengelolaan barang-barang publik dan pengambilan kebijakan tidak pernah melibatkan masyarakat. Bahkan, pemerintah/birokrasi terkesan menutup akses publik untuk mengetahui aktivitas pemerintahan dan pembangunan yang berhubungan dengan kepentingan publik
4. Sentralisasi birokrasi masa Orde Baru telah membangun karakter yang kuat berakar pada mental birokrasi sehingga membelenggu inovasi birokrat pemerintah daerah dalam menangkap aspirasi, potensi dan kebutuhan masyarakat di daerah

Krisis pemerintahan tersebut telah memicu berbagai tuntutan masyarakat mengenai reformasi birokrasi. Masyarakat menilai manjerial birokrasi bersandar pada aturan-aturan yang kaku dan cenderung bersikap sebagai penguasa yang mendominasi kehidupan masyarakat. Tuntutan perubahan yang diinginkan masyarakat adalah terwujudnya birokrasi yang efisien, profesional, fleksibel dan tanggap dalam memberikan pelayanan publik serta memprioritaskan kesejahteraan dan pembangunan yang bermanfaat bagi kepentingan publik. reformasi birokrasi. Sinergi dengan tuntutan masyarakat, badan-badan internasional menilai kinerja birokrasi pada negara berkembang secara umum, termasuk Indonesia sangat lamban dan tidak profesional. Badan-badan internasional seperti Bank Dunia (World Bank) dan UNDP mencetuskan paradigma baru pemerintahan dan birokrasi yang ideal, yakni Good Governance.
Good Governance yang secara sederhana diartikan sebagai tata kepemerintahan yang baik, menghendaki keterlibatan warga negara dan sektor swasta di dalam proses pemerintahan dan pengambilan keputusan. Menurut Bank Dunia (World Bank), Good Governance akan membawa negara lebih dekat dengan masyarakatnya, dalam hal:
• Peningkatan kapasitas dan efektivitas negara.
• Pencerahan intervensi pemerintah.
• Desentralisasi
• Akuntabilitas dan transparansi.
• Memadukan pelayanan publik dengan preferensi masyarakat lokal.
• Partisipasi warga negara.
• Kemitraan antara pemerintah, sektor bisnis dan elemen-elemen masyarakat sipil.

UNDP (1997) memberi pengertian good governance sebagai sebuah konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahan dalam sebuah negara. Hal ini merupakan sebuah dialog yang melibatkan seluruh partisipan, sehingga setiap orang merasa terlibat dalam urusan pemerintahan. Menurut UNDP, karakteristik pelaksanaan Good Governance adalah:
1. Participation : keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung. Implementasi karakteristik partisipasi ini tercermin pada pendekatan perencanan pembangunan dan penganggaran yang bersifat partisipatif.
2. Rule of law: penegakan hukum secara adil tanpa pandang bulu
3. Transparency/transparansi: masyarakat mampu mengakses informasi pemerintahan yang berkaitan dengan kepentingan publik
4. Responsiveness: daya tanggap pemerintah dalam menghadapi tuntutan masyarakat/ stakeholder
5. Consensus orientation: berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih luas
6. Equity/persamaan: masyarakat memiliki kesempatan yang sama dalam keadilan dan kesejahteraan
7. Accountability/akuntabilitas: pertanggungjawaban aktivitas pemerintah kepada publik
8. Strategic vision: penyelenggara pemerintah dan masyarakat harus memiliki visi yang jauh kedepan

Seiring dengan berkembangnya paradigma Good Governance, berhembus pula gagasan Reinventing Government yang dinyatakan oleh David Osborne dan Ted Gaebler. Reinventing Government sebagai semangat dalam mewujudkan Good Governance yang merubah orientasi birokrasi dalam pemerintahan yang semula lebih mementingkan “process” menuju orientasi “product”, atau dari “rule governance” menuju ke “goal governance”. Orientasi ‘Goal Governance’ menhendaki tercipatanya kembali birokrasi dengan mendasarkan pada sistem kewirausahaan (enterpreunership).
Osborne dan Gaebler merumuskan sepuluh prinsip birokrasi yang mempunyai jiwa entrepreneur, yakni:
(1). Pemerintahan Katalis: Mengarahkan Ketimbang Mengayuh; Pemerintah entrepreneurial seharusnya lebih berkonsentrasi pada pembuatan kebijakan-kebijakan strategis (mengarahkan) dan mampu melihat seluruh visi, mampu menyeimbangkan berbagai tuntutan yang saling bersaing
(2).Pemerintahan Milik Masyarakat: Memberi Wewenang Ketimbang Melayani; Pemerintah mungkin tidak lagi memproduksi jasa, tetapi masih bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kebutuhan-kebutuhan telah terpenuhi.
(3). Pemerintahan yang Kompetitif: Menyuntikkan Persaingan ke dalam Pemberian Pelayanan; pemerintah harus mengembangkan kompetisi (persaingan) di antara masyarakat, swasta dan organisasi non pemerintah yang lain dalam pelayanan publik. Di antara keuntungan paling nyata dari kompetisi adalah efisiensi yang lebih besar sehingga mendatangkan lebih banyak uang, kompetisi memaksa monopoli pemerintah (atau swasta) untuk merespon segala kebutuhan pelanggannya, kompetisi menghargai inovasi, dan kompetisi membangkitkan rasa harga diri
(4). Pemerintahan yang digerakkan Misi: Mengubah Organisasi yang digerakkan oleh Peraturan; pemerintahan harus digerakkan oleh misi sebagai tujuan dasarnya sehingga akan berjalan lebih efektif dan efisien. Karena dengan mendudukkan misi organisasi sebagai tujuan, birokrat pemerintahan dapat mengembangkan sistem anggaran dan peraturan sendiri yang memberi keleluasaan kepada karyawannya untuk mencapai misi organisasi tersebut. Di antara keunggulan pemerintah yang digerakkan oleh misi adalah lebih efisien, lebih efektif, lebih inovatif, lebih fleksibel, dan lebih mempuyai semangat yang tinggi ketimbang pemerintahan yang digerakkan oleh aturan.
(5). Pemerintahan yang berorientasi Hasil:
(6). Pemerintahan berorientasi Pelanggan: Memenuhi Kebutuhan Pelanggan bukan Birokrasi; pemerintah harus menempatkan rakyat sebagai pelanggan yang harus diperhatikan kebutuhannya.
(7). Pemerintahan Wirausaha: Menghasilkan Dibandingkan dengan Membelanjakan; pemerintah wirausaha harus berinovasi menjalankan program publik dengan sumber daya keuangan yang sedikit. Dengan melembagakan konsep profit motif dalam dunia publik, sebagai contoh menetapkan biaya untuk public service dan dana yang terkumpul digunakan untuk investasi membiayai inovasi-inovasi di bidang pelayanan publik yang lain. Dengan cara ini, pemerintah mampu menciptakan nilai tambah dan menjamin hasil.
(8). Pemerintahan Antisipatif: Mencegah daripada Mengobati; Pola pencegahan (preventif) harus dikedepankan dari pada pengobatan mengingat persoalan-persoalan publik saat ini semakin kompleks, jika tidak diubah (masih berorientasi pada pengobatan) maka pemerintah akan kehilangan kapasitasnya untuk memberikan respon atas masalah-masalah publik yang muncul.
(9). Pemerintahan Desentralisasi; pemerintah yang efisien mampu mendelegasikan kewenangan dan membagi Beban keputusan kepada banyak orang, pengambilan keputusan dengan jenjang hierarkhi yang panjang akan membuat kinerja pemerintah semakin lamban.
(10). Pemerintahan berorientasi Pasar: Mendongkrak Perubahan Melalui Pasar. Pemerintahan entrepreneur merespon perubahan dengan cara membangun strategi inovatif dan membentuk lingkungan yang mendorong kekuatan pasar sehingga pasar dapat beroperasi dengan efisien dan menjamin kualitas hidup dan kesempatan ekonomi yang sama.

Dalam mewujudkan perilaku birokrasi enterpreunerial tersebut, Osborne dan Plastrik menyebutkan 7 Kompetensi Birokrasi Entrepreneurial, yakni:
(1). Sensitif dan responsif terhadap peluang dan tantangan baru yang timbul di dalam pasar;
(2). Tidak terpaku pada kegiatan-kegiatan rutin yang terkait dengan fungsi instrumental birokrasi, akan tetapi harus mampu melakukan terobosan (breakthrough) melalui pemikiran yang kreatif dan inovatif;
(3). Mempunyai wawasan futuristik dan sistematik;
(4). Mempunyai kemampuan untuk mengantisipasi, memperhitungkan resiko;
(5). Jeli terhadap potensi sumber-sumber dan peluang baru;
(6). Mempunyai kemampuan untuk mengkombinasikan sumber menjadi resource mix yang mempunyai produktivitas tinggi;
(7). Mempunyai kemampuan untuk mengoptimalkan sumber yang tersedia, dengan menggeser sumber kegiatan yang berproduktivitas rendah menuju kegiatan yang berproduktivitas tinggi.

Semangat Reinventing Government tidaklah cukup untukmewujudkan birokrasi enterpreneurial, manajemen pemerintahan harus dilandasi oleh ”enterprise culture” (Budaya Wirausaha). Budaya wirausaha ini harus menjadi mindset yang ditunjukkan ke dalam perilaku birokrasi, yakni:
(1) initiative taking, Pemerintah Daerah disini harus mampu mengambil prakarsa untuk menghadirkan inovasi pelayaan publik terutama untuk dunia usaha. Salah satunya adalah memperkenalkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan.
(2) the organizing and reorganizing of social/economic mechanism to turn resources and situation to practical account,
(3) acceptance of risk or failure: mampu menghadapi resiko dan kegagalan
(Thompson dan Riccucci, 1998)

Osborne dan Plastrik menyatakan bahwa terdapat lima strategi yang digunakan untuk melakukan perubahan dalam birokrasi enterpreneurial, yaitu
 Strategi inti (the core strategy). Organisasi publik menentukan tujuan (the purpose) yang jelas, tidak terlalu banyak atau saling bertentangan. sebuah sistem dan organisasi publik. Organisasi publik akan bekerja secara efektif jika memiliki tujuan yang spesifik.
 Strategi konsekuensi; perhitungan konsekuensi-konsekuensi yang akan terjadi pada pelaksanaan tujuan organisasi seperti resiko dan peningkatan insentif pegawai untuk meningkatkan kinerjanya
 Strategi pelanggan; pertanggungjawaban kepada masyarakat sebagai pelanggan dan berorientasi pada kepuasan pelanggan
 Strategy Pengendalian (the control strategy); mendesentralisasikan pembuatan keputusan pada pejabat atau birokrasi tingkat bawahnya, hal ini dapat menimbulkan rasa tanggung jawab dan penghargaan para pegawai birokrasi.
 Strategy Budaya (the culture strategy). Membangun nilai, norma, tingkah laku dan harapan-harapan anggota organisasi yang menjadi komitmen bersama untuk diwujudkan sebagai budaya organisasi.

Rabu, 09 Juni 2010

E-book

situs ini merupakan situs yang memberikan akses elektronik book (e-book) baik cara membayar atau gratis, untuk mendapat informasi lebih lanjut klik www.ebook3000.com

kesehatan

klik www.ruhyana.com

data kesehatan

www.athur73.blogspot.com

Kamis, 29 April 2010

Matematika kehidupan

Aku tidak ingin mencari apa-apa dalam hidup ini kecuali ridha Allah
Batas kepuasan batinku bukan pada

seberapa besar uang yang kudapat
seberapa banyak popularitas yang kuperoleh
seberapa eksklusif status sosial yg kumiliki
seberapa luas pengaruh yang dapat aku kuasai

Batas kepuasan batinku ada pada seberapa effisien waktu yang aku gunakan untuk kebaikan hidupku, keluargaku dan lingkunganku.
dan seberapa berartinya kehadiran diriku bagi aku sendiri dan mereka semua
seberapa banyak kebaikan yang aku hasilkan utk bekalku di masa depan akhir jaman
untuk mengetahui data bla kunjungi www.teguhtimur.com

Jumat, 16 April 2010

Telepon dari Surga

Habluminallah bukan saja hubungan ritualitas antara manusia dengan Tuhannya, melainkan juga mengandung konsep kerjasama antara kita dan sang pencipta. Tuhan menciptakan hati kepada manusia, agar manusia mampu melaksanakan sifat-sifat Tuhan berikut sebagian kecil tugasnya dalam mengatur kehidupan di dunia. Itulah sebabnya Allah mengatakan bahwa manusia adalah khalifah (=pemimpin) di dunia, minimal pemimpin bagi dirinya sendiri.

Lima kali sehari setidaknya kita mendapat telepon dari surga,
Surga : "Kringggggggg…..(begitulah analoginya)
Jawaban dari Telepon kita: "Maaf saya sedang sibuk tidak bisa diganggu, atau Menjawab dengan kalimat "Maaf nomor yg anda hubungi sedang sibuk"

Itulah prilaku kita ketika kita diminta untuk paling lama 5 menit saja menunaikan ibadah shalat. Namun panggilan itu tak pernah berhenti untuk mengingatkan kita agar selalu dekat dengan Sang Pencipta.

Ketika hamba Allah berada dalam kesulitan, Tuhan pun dengan kuasanya membisikkan hati kita utk bersedia membantunya (bersedakah). Yang kita lakukan adalah menghitung-hitung berapa kerugian rejeki yg harus dikeluarkan ketika kita harus bersedakah, dan berapa pula imbalan dari Tuhan?

Tetapi ketika kita dalam kesulitan, setiap saat, setiap menit kita akan menelpon Tuhan, menggedor-gedor pintunya dengan wajah memelas dan cucuran air mata, memohon bantuan Sang Khalik untuk membantu kita dari keterpurukan duniawi, (padahal ketika Tuhan meminta bantuan kita, kita berhitung imbalan, ketika Tuhan merindukan kita menghadap padanya, kita acuhkan.

Lantas apabila Tuhan berlaku sama kepada kita, mengatakan sibuk untuk kita, berhitung ketika hendak memberikan rejeki kepada kita. Apa yg bisa kita lakukan?
Kecuali mengutuk bahwa Tuhan tidak adil, Tuhan tidak memiliki kekuatan, atau Tuhan tidak ada…

Subhanallah dari sekian banyak laknat yang telah kita lakukan, Tuhan ternyaata masih sayang pada kita.